Minggu, 02 Oktober 2011

Cerpen : Bintang Dandelion


Dandelion, bunga yang terlihat sangat lemah dan rapuh bila angin datang dan menggoyangkanya, tapi Dandelion masih tetap berusaha menjadi tegar dan kuat melawan terpaan angin yang setiap saat akan mencabutnya dari tempatnya.

                                                                       *************

“Kamu tahu nak, kenapa Papa memberi kamu nama Bintang Dandelion?”
Menggeleng. ”Kenapa Pa?”
 
Diam, lalu tersenyum. ”Karena Papa mau kamu bisa menerangi kehidupan Mama dan Papa seperti bintang yang memberi cahaya di pekatnya malam, dan juga sehebat bunga dandelion itu!”
”Bunga Dandelion itu seperti yang ada dihalaman rumah kita itu ya  Pa?”
Mengangguk. ”Iya nak, kamu lihatkan. Walaupun dia terlihat gampang di terbangkan oleh angin, tapi dia akan mampu bertahan dimanapun dia akan di tinggalkan oleh angin nantinya.
”Aku nggak ngerti Pa?”
Tersenyum kembali dan mengusap lembut rambutku. ”Nanti kamu juga akan mengerti sayang”

                                                                       ***************


Semua rasa menyeruak kedasar relung hatiku saat ini. Langit senja kali ini kulihat mulai kelabu, dan aku masih tetap berada disini, di batas ketidakberdayaan dan keangkuhan. Kesunyian senja kali ini mengantarkan aku pada sebuah rasa menginginkan dan memberikan. Menginginkan apa yang dari dulu pantas aku dapatkan dan memeberikan apa yang aku punya untuk membahagiakan dia.
Dia satu-satunya orang yang aku miliki saat ini, dia juga yang telah melahirkanku, tapi untuk sesaat saja dia tidak pernah menganggapku ada. Sejak kecil aku lebih bahagia bila berada di dekat Papa, tapi Tuhan sangat cepat merampasnya dariku. Papa, meninggal saat aku berusia tujuh tahun, papa orang satu-satunya yang paling mengerti aku, dan memberikan aku kasih sayang yang tak pernah aku dapati dari seseorang yang melahirkan aku.
”Bintang..Mama kamu sekarang sangat membutuhkan kehadiran kamu!” Suara dari telepon di seberang sana telah aku dengar entah sudah untuk keberapa kalinya.
Aku hanya diam, dan kembali menutup telepon itu. Suara deringan telepon itu kembali lagi terdengar hingga berkali-kali, aku tahu pasti masih suara yang sama seperti suara perempuan tadi, yang akan berbicara hal yang sama juga padaku lagi nantinya, suara perempuan yang merupakan adik dari Mamaku. 
Aku mencoba memejamkan mataku,berharap dapat melupakan semua hal yang terjadi padaku beberapa tahun belakangan ini untuk sejenak. Angin malam mampu memberikan Keheningan, keheningan dan kesepian yang belakangan ini telah menjadi teman baikku. Kesepian yang mampu memberikan kontras pada kesunyian hati yang sedang aku rasakan.

                                                                  **************** 
”Mama.....jangan tinggalin Bintang Ma! Bintang nggak mau sendirian” aku berusaha menggapai pinggiran baju Mama dengan bersusah payah.
”Mama udah nyuruh Mbak Iin buat jagain kamu!, pergi sana!!”
Terisak. ”Kenapa mama tinggalin Bintang sendirian?” terdengar getir, dan aku masih berusaha mendekatinya dan menggapai apa saja yang ada pada dirinya agar dia tidak bisa meninggalkan aku disini.
”Karena aku tidak mau punya ANAK CACAT seperti kamu!!”
Aku mengerti mengapa dia selama ini tidak pernah menyayangi aku atau hanya sekedar memandang kearahku dengan tatapan seorang Ibu kepada anaknya. Saat itu aku masih belum mengerti arti sebuah kehilangan, tapi untuk saat ini aku mampu mengerti arti sebuah kata di camppakkan dan terabaikan. Aku benar-benar merasakan Tuhan sangat tidak adil memberikan gadis berusia tujuh tahun sepertiku merasakan perasaan seperti ini. 
Dia berlalu meninggalkan aku dirumah tua ini, tanpa sedikitpun memperlihatkan rasa iba meninggalkan putri kecilnya ditempat ini sendirian. Aku lihat mobil yang membawanya berlalu semakin jauh meninggalkan aku, ingin rasanya aku mengejarnya, merengkuh kakinya dan memohon sekali lagi, berharap ada sedikit rasa ibanya terhadapku. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mengejar laju mobil itu, untuk berjalan saja aku membutuhkan bantuan kursi roda ini. Aku pasrah, aku hanya bisa memperkuat tangisku.
Sejak saat itu, setiap senja tiba aku selalu menunggunya di depan pintu, berharap dia akan datang dan menjemputku disini, memelukku dan memanggil namaku sekali saja, hanya itu yang aku panjatkan dalam setiap doaku. Yang aku mengerti sampai saat ini hanya semua hal yang telah pergi tidak akan kembali lagi padamu.


                                                                 ***************

Papa..Bintang kangen sama Papa, Papa kenapa ninggalin Bintang sendirian?”
”Papa tidak pernah ninggalin kamu Bintang..” tersenyum.
”Pa..Bintang nggak mau di tinggal sendirian lagi, Bintang mau ikut Papa!”
Menggeleng dan tersenyum. ”Belum saatnya sayang, Bintang....kamu adalah Bintang Dandelion Papa, Kamu harus ingat kenapa dulu Papa memberimu nama itu. Papa mau kamu tetap bertahan dan kuat, lakukan semua hal yang terbaik dalam hidupmu. Papa sayang sama kamu...”
”Papaaaa.....jangan tinggalin bintang.......”

Perlahan-lahan mataku mulai melihat sekilas cahaya putih, sedikit demi sedikit tampak terlihat jelas semua warna yang ada dikamarku dan sosok seorang yang selama ini mengurus dan menemaniku, serta seseorang yang memakai jas putih dengan steteskop yang tergantung di lehernya. Wajahnya juga tidak asing lagi bagiku. Tampak raut wajah mereka terlihat lega melihat aku telah sadar. Tapi kepalaku masih terasa berat.
”Non Bintang, tadi non nggak bangun-bangun waktu Mbak Iin bangunin. Makanya Mbak Iin telepon Pak Dokter kesini.” aku tak menghiraukan perkataan Mbak Iin, karena aku tahu pasti apa yang terjadi padaku.
”Berapa lama lagi waktu yang saya punya Dok?” 
”Kemungkinan lebih kurang satu bulan lagi, Bintang. Tapi setiap usia” 
Dokter itupun dengan berat hati memberitahukan itu padaku. Satu sisi hatiku bersorak gembira mendengar perkataan Dokter tadi.

Dulu sejak usiaku makin bertambah, dan teman-temanku disekolah sering menghinaku. Bukan hanya karena keterbatasan yang ada padaku, tapi juga karena aku telah di campakkan oleh Mamaku sendiri. Sejak saat itu, sangat ingin sekali aku melakukan hal bodoh dan mengakhiri semuanya, sayatan-sayatan kecil sudah memenuhi setiap sisi di kedua tanganku, bahkan hidungku sudah terbiasa dengan bau anyir darah yang melekat diseprei,dinding bahkan dilantai kamarku yang berserakan seperti genangan air kecil setiap kali aku mencoba melakukan hal itu. Rumah sakit telah menjadi rumah kedua yang sering aku kunjungi. Dulu aku masih belum mengerti kenapa darahku selalu keluar banyak meskipun aku hanya menggoreskan sedikit sayatan ditubuhku, tapi aku tak pernah berhenti mencobanya. Sampai aku tahu bahwa penyakit Hemofilia ini perlahan-lahan pasti akan merenggut nyawaku juga, tak sedikitpun ketakutan terlihat dari pancaran wajahku saat itu. Bukan karena aku telah merasa siap untuk menemui ajalku nanti. Tapi karena aku sudah benar-benar lelah menjalani sisa hidupku saat ini. Sudah sepuluh tahun penyakit ini belum juga mengakhiri semua kesedihan, kesepian dan kesunyian yang selama ini aku rasakan.

Akhirnya penderitaan kamu berakhir hanya dalam waktu satu bulan lagi Bintang, sebentar lagi kamu akan bisa berada didekat Papamu. Selamanya kamu akan merasakan kebahagian yang damai disana, bukan kesunyian dan kesepian lagi.

Tapi sisi hatiku yang lain masih saja merasakan kekosongan, kekosongan yang belum pernah terisi.

                                                                *************

Dandelion, bunga yang terlihat sangat lemah dan rapuh bila angin datang dan menggoyangkanya, tapi Dandelion masih tetap berusaha menjadi tegar dan kuat melawan terpaan angin yang setiap saat akan mencabutnya dari tempatnya. Jika dandelion itu memang harus diterbangkan oleh sang angin, dandelion rela dan tidak akan bersedih. Karena dandelion percaya angin tidak akan menyakitinya, meskipun diterbangkan oleh angin dan tak tahu kemana arah terbangnya, dandelion juga tidak takut jika nantinya setelah diterbangkan oleh sang angin ia harus tertinggal ditanah yang gersang dandelion tetap tegar dan mencari setitik celah dan berjuang untuk tetap hidup. Serta saat dandelion disandingkan dengan ilalang jalanan yang sangat jarang dapat melihat dan menyadari keberadaannya juga tidak membuatnya sedih, karena ia memang bagian dari itu. Dia tak pernah berhenti berusaha. Dandelion percaya bahwa setelah dia terbang melintasi jagad raya, meniti kehidupan yang penuh kesulitan, suatu hari nanti, sejauh apapun dia telah pergi, dia akan kembali, dia akan kembali lagi ketempat dimana dia berasal.

Selama ini aku telah belajar menjadi Dandelion untuk Papa, Aku telah sekuat tenaga belajar untuk menjadi tegar dan kuat seperti Dandelion yang Papa inginkan. Walaupun aku tampak rapuh dengan kesunyian, kesepian dan penyakit yang selalu menemaniku selama ini, aku tetap berjuang untuk tetap bertahan dengan semua hal yang aku rasakan.

Aku kembali teringat sesuatu hal yang telah aku lewati saat aku pingsan tadi, dan aku masih mengingat setiap kalimat yang Papa katakan saat itu.

Lakukan semua hal yang terbaik dalam hidupmu

Papa benar, Jika memang saat ini adalah waktu-waktu terakhir yang aku miliki, setidaknya aku harus memanfaatkannya. Aku akan melakukan segala hal yang terbaik dalam hidupku untuk terakhir kalinya. Dan aku akan melakukan hal itu.

                                                                            ************** 
Saat ini aku hanya bisa bersandar pada pembatas antara kesadaran dan impian yang aku punya. Kesadaran apapun yang aku lakukan tidak akan mampu membuat Mama menerima keadaanku, dan Impian serta semua mimpi-mimpiku tentang kasih sayang, dekapan dan tatapan hangat yang meneduhkan dari Mama yang aku rindukan selama ini.
”Akhirnya kamu mau datang juga Bintang” Aku datang bersama Mbak Iin yang selalu menemani kemanapun aku pergi. Suara itu, suara perempuan yang sering aku dengar ditelepon akhir-akhir ini. Aku hanya mengangguk dan mengarahkan pandanganku mencari seseorang.
”Mama kamu sedang di rumah sakit, seminggu yang lalu mama kamu mengalami kecelakaan dan...” seolah dia paham siapa yang sedang aku cari, dia menjawab pertanyaanku yang belum sempat aku tanyakan padanya.
”Dan kenapa tante?” Aku sangat penasaran  apa yang terjadi pada mama.
”Mama kamu tidak bisa melihat lagi Rel, kecelakaan itu membuat dia buta”
Seharusnya aku berbahagia mendengar kabar itu, seorang mama yang mencampakkan anaknya dulu dan meninggalkannya sendirian hanya karena anak yang dilahirkannya terlahir cacat dengan ukuran kaki yang tidak normal seperti anak lainnya, yang membuat aku harus menggunakan kursi roda untuk membantuku berjalan. Bahkan mungkin dia tidak tahu dengan penyakit yang lain yang sedang melekat ditubuhku saat ini. Sekarang dia juga sedang merasakan ”cacat” pada dirinya sendiri, seharusnya aku tertawa paling keras mendengar kabar ini. Tapi anehnya bagaimanapun sikapnya terhadapku selama ini, aku tidak pernah membencinya. Walaupun terkadang aku merasa kesal atas semua sikapnya, tapi jauh dilubuk hati kecilku aku sangat merindukannya, andai saja dia mau menerima aku sebagai anaknya dengan semua kekurangan yang aku punya, aku pasti sangat berbahagia.

                                                                      *************** 
Kematian itu ternyata sangat sederhana, tidak ada perubahan yang berarti saat mengalaminya, dan yang pasti juga tidak menyakitkan. Seluruh kepekaan alat indera perlahan-lahan akan menghilang, sesaat semuanya berubah menjadi gelap, seluruh tubuh akan terasa dingin dan kaku. Semacam benda lain beranjak sesaat dari tubuhku, aku tidak tahu dalam bentuk seperti apa aku sekarang, aku merasa sangat ringan seperti dandelion kecil yang tertiup oleh angin.  . Aku melihat tubuhku terbaring kaku dimeja operasi, mereka mengelilingiku, berusaha membawaku kembali ketempat dimana aku dulu menjalani hari-hari berat. Sesaat aku merasakan diriku berada dalam spektrum putih, kilauan cahaya putih yang sedikit menyilaukan mataku.
Tanah gundukan merah di hadapanku saat ini berserakan puluhan kembang, semerbak wangi melati juga menyesakkan penciumanku. Jika waktu yang aku miliki telah berakhir sampai disini, setidaknya aku sudah cukup berbahagia. Berbahagia karena semua hal yang ingin aku lakukan benar telah aku selesaikan dengan sempurna, dan segala hal yang aku inginkan juga telah aku dapatkan.

To : Mama tersayang..
Ma, aku ingin sekali memanggil kata itu langsung pada Mama, dan aku berharap setelah mendengar itu, mama akan memeluk dan mencium keningku seperti yang dilakukan Buk Citra, tetangga kita dulu yang mencium anaknya saat anaknya memanggil dia Mama..
Aku tahu Ma, aku tidak cukup sempurna untuk menjadi seorang anak untukmu. Setidaknya izinkan mataku itu tetap menemanimu kemanapun Mama pergi. Aku hanya ingin benar-benar menjadi bintang yang mampu sedikit saja memberi cahaya dalam hidup Mama, seperti yang Almarhum Papa dulu katakan, bahwa aku adalah Bintang yang menerangi kehidupan Mama dan Papa seperti bintang yang memberi cahaya di pekatnya malam. Tapi maaf Ma, aku tidak bisa menjadi setangguh dandelion, karena aku tidak mampu untuk tetap kuat melawan penyakit Hemofilia ini.
Ma... Aku tak perlu lagi setiap sore menunggu Mama untuk datang menjemputku, berharap Mama mendekapku dengan segala kasih sayang Mama, karena saat ini Papa yang telah menjemput dan mendekapku hangat penuh kedamaian bersamanya.
Aku sayang Mama..Sayang sekali, walaupun aku sempat kesal Mama meninggalkan aku sendiri.  Tapi Aku sangat berbahagia sekali hari ini, karena dengan mata itu, aku bisa selalu berada dekat dengan mama dan diwaktu terakhir yang aku miliki, aku mampu melakukan segala hal yang terbaik dalam hidupku.

_Bintang Dandelion_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...